Adanya MDGs di Indonesia dinilai belum bisa dikatakan efektif untuk pendidikan di Indonesia. Delapan tujuan MDGs yang memuat : 1) penanggulangan kemiskinan dan kelaparan, 2) mencapai pendidikan dasar untuk semua, 3) kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, 4) mengurangi angka kematian bayi, 5) meningkatkan kesehatan ibu, 6) melawan HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lain, 7) memastikan kelestarian lingkungan hidup, 8) kemitraan untuk pembangunan. Dari ke delapan tujuan tersebut salah satu prioritas yang harus dijalankan bagi Indonesia adalah menuntaskan tercapainya target pendidikan dasar untuk semua masyarakat Indonesia mengenai pemerataan pendidikan dasar dengan menargetkan pada tahun 2015 semua anak Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, akan dapat menyelesaikan pendidikan dasar, tidak ada lagi yang putus sekolah.
Adapun program pemerintah yang mencanangkan program pemerataan pendidikan. Program Wajib Belajar 9 tahun adalah salah satu bentuk usaha pemerintah Indonesia dalam mewujudkan pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara. Penulis berasumsi bahwa program pendidikan pemerintah wajib belajar 9 tahun belum dapat dikatakan berhasil. Dalam arti, banyak anak yang putus sekolah karena biaya mahal dan jarak untuk mendapatkan pendidikan yang jauh sehingga menambah score banyaknya anak yang putus sekolah dan berujung pada kegagalan karena tidak mendapat pendidikan yang semestinya didapat. Selain itu program pemerintah yaitu Beasiswa harusnya mampu membantu program MDGs supaya dapat terpenuhi. Tapi realita berkata lain, beasiswa telah dipersalahgunakan yang mana pada dasarnya beasiswa diperuntuk buat orang tidak mampu tapi kini kalangan orang kaya juga ikut menikmatinya. Jelas ini berbanding terbalik dengan hal yang semestinya.
Jelas sekali ironi pendidikan kita yang terjadi saat ini, mengingat pendidikan merupakan kebutuhan utama untuk mewujudkan masyarakat yang berpotensi dan maju. Pendidikan yang sebagai arti upaya untuk memenuhi dan mengembangkan potensi diri seseorang suaya memiliki budi pekerti yang luhur agar kelak mecapai tujuan sesuai dengan UUD 45 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tapi sungguh ironis, yang terjadi saat ini pendidikan sudah tidak lagi menjadi hal utama untuk menunjang kemampuan setiap warga Negara menjadi lebih baik dalam menghadapi dunia yang semakin mengglobal. Pemerintah cenderung selalu memperhatikan kepentingan politik yang selalu diutamakan, dan cenderung selalu tidak mengoptimalkan apa yang sedang terjadi dengan pendidikan dalam negeri. Padahal pendidikan adalah hal utama untuk untuk menciptakan masyarakat yang berintelektual yang baik. Tapi nyatanya tidak, pendidikan kita dihadapkan pada berbagai dilema yang sulit dipecahkan. Dalam perkembangnya penulis menilai bahwa pendidikan lewat media sekolah tidak lagi menjadi penanaman nilai-nilai kemanusiaan. Sekolah menjadi “penjara” yang memisahkan nak didik dari dinamika persoalan masyarakat. Dalam arti, semakin lama seseorang bersekoah, semakin besar jarak antara dirinya dan realitas kehidupan yang sebenarnya. Sistem pendidikan yang tidak dialogis juga telah menyebabkan bakat dan kreatifitas yang dimiliki seseorang tidak bisa berkembang dengan baik. Penulis menilai bahwa pendidikan saat ini tidak lagi menjadi sarana dalam mencapai dan memajukan kualitas sumber daya yang dimiliki setiap orang, melainkan menjadi tempat seseorang untuk diarahkan dan didesain menurut pola yang sudah baku.
Menurut penulis, ada tiga hal pokok yang harus diutamakan pemerintah dalam rangka untuk menciptakan kematangan dalam menciptakan mutu pendidikan yang maju yaitu, yang pertama adalah memajukan pendidikan, yang kedua menumpaskan kemiskinan, dan yang ketiga menciptakan kesehatan. Penulis berasumsi bahwa tiga ini merupakan inti penting dalam mencapai pemenuhan target MDGs. Penulis mengasumsikan bahwa pendidikan, kemiskinan, dan kesehatan seperti roda yang terus berputar. Dalam arti begini, apabila pendidikan dapat dipenuhi target dan kualitasnya maka tidak akan menutup kemungkinan untuk timbulnya orang-orang yang berpendidikan serta orang yang mengerti akan kehidupan sosial sehingga terhindar dari kebodohan yang mana kebodohan ini akan menjadi menjadi akar kemiskinan, mengingat kemiskinan akan mematikan pergerakan untuk mencapai sesuatu yang menjadi tujuan. Dalam arti, kemiskinan akan membuat seseorang tidak dapat mencapai pemenuhan hidup yang lebih baik. Misalnya tidak tercapainya pemenuhan gizi yang baik akibat minimnya ekonomi untuk membeli barang yang memiliki kandungan gizi yang baik. Sehingga mau tidak mau seseorang akan memenuhi kebutuhan pangannya dengan sesuatu yang “memiliki kandungan gizi yang kurang”. Dengan keadaan yang seperti ini jelas akan menimbulkan nilai kesehatan yang rendah terhadap seseorang tersebut akibat pemenuhan gizi yang kurang baik yang telah dikonsumsi oleh seseorang itu.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar Anda di bawah ini terkait artikel di atas. Komentar Anda sangat berguna bagi perkembangan blog dan organisasi kami. Terima kasih telah berkunjung dan semoga bermanfaat. Salam !