Sponsors

Jumat, 08 April 2011

Reformasi IMF : Mungkinkah?

Oleh : Arnoldus Tally Nae *)


          Berbicara mengenai eksistensi dan esensi sebuah lembaga keuangan inter-nasional seperti IMF, kita akan diajak untuk menelaah masalah yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia yakni soal “UTANG”. Bukanlah hal yang luar biasa jika term “utang” ter-sebut kembali kita hubungkan dengan sistem finansial negara Indonesia yang kian terpuruk dalam kancah perekonomian global dan domestik. Kondisi ini diperparah dengan situasi dalam negeri yang sama sekali terkesan tidak mendukung pemulihan keadaan ekonomi negara seperti maraknya kasus KKN dalam tubuh lembaga pemerintahan. Usaha–usaha pemulihan keadaan ekonomi yang telah dan sedang dikembangkan selama ini pun masih menitikberatkan pada proses treatment atau therapy ketimbang usaha preventif sebelum keadaan ekonomi sungguh-sungguh terpuruk. Wajarlah karena utang adalah sebuah warisan sejarah yang paling krusial dan bangsa kita masih berkutat dengan asas lebih baik mengobati daripada mencegah atau yang lebih po-pular adalah gali lubang tutup lubang.

Realitas di atas bukan dimaksudkan untuk menyurutkan  langkah kita menuju pemulihan dan pengembangan struktur ekonomi dan peningkatan sistem finansial negara ke arah penyempurnaan tetapi melalui itu bangsa kita patut me-refleksikan arah dasar dan tujuan berdirinya negara ini yang mengagendakan kemajuan di segala bidang. Tentunya kita menghargai upaya yang dilaku-kan pemerintah dalam me-ngatasi keterpurukan ekonomi negara yang salah satunya adalah dengan melaksanakan kebijakan loan atau pinjaman utang luar negeri. IMF dengan predikatnya sebagai lembaga keuangan bertaraf internasional dengan senang hati memberikan bantuan pinjaman dalam bentuk dana moneter. Keterikatan hu-bungan antara IMF- Indonesia ini di satu sisi menguntungkan pihak Indonesia karena upaya pemulihan keadaan ekonomi boleh jadi sukses tetapi di sisi lain, IMF secara tidak langsung telah menanamkan pengaruhnya di Indonesia sehingga Indonesia semakin tergantung kepada IMF. Apalagi kita sadar bahwa IMF masih saja didominasi oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat. Semua ke-bijakan yang dikeluarkan IMF toh pada intinya hanya meng-untungkan negara-negara pe-megang saham terbesar di IMF. Siapa yang dirugikan di sini ? Tentu saja negara-negara dunia ketiga atau negara berkembang. IMF yang didominasi oleh negara kaya berpeluang meng-ulangi kesalahan mendasarnya yakni memberikan loan atau pinjaman dengan mendikte negara yang akan dibantu. Seharusnya IMF tidak menjadi instrumen bagi negara-negara industri maju untuk menjajah negara lain. Bertolak dari pe-mahaman ini, tercipta sebuah citra buruk IMF yang menuntut reformasi dalam tubuh IMF itu sendiri. Tuntutan ini kemudian diajukan kembali oleh negara-negara berkembang. Namun, upaya mereformasi IMF tidak semudah membalikkan telapak tangan dan proses ini bukan hanya belum dimulai tetapi sudah dan sedang ber-langsung. Apalagi hal yang dipersoalkan berkaitan dengan masalah substansial, misalnya masalah voting power.
                 Kita mengharapkan IMF tidak didominasi oleh Amerika Serikat atau negara-negara OECD (The Organization for Economic Cooperation and Develop-ment). Yang harus kita per-tanyakan adalah sejauh mana reformasi di tubuh IMF sendiri bisa mengurangi dominasi Amerika Serikat. Selama ini voting power lembaga keuang-an internasional IMF terus didominasi Amerika Serikat. Sementara itu, negara-negara berkembang yang jumlahnya lebih besar hanya memiliki hak suara minoritas sehingga sulit menjadi penentu kebijakan akibat aturan dasar yang menentukan voting power itu. Aturan dasar itu terkait dengan empat kriteria, yaitu produk domestik bruto (PDB), pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, dan keterbukaan pada perdagangan. Reformasi yang diusung di tubuh IMF sama sekali tidak memberikan solusi bagi negara yang ingin dibantu. Beberapa analisa menunjukkan bahwa hal ini juga dipengaruhi oleh adanya ketidakseimbangan dalam proses pengambilan keputusan di IMF.
Berdasarkan uraian di atas, setidaknya ada dua hal mendasar yang harus diupayakan untuk mereformasi IMF agar berpihak kepada negara-negara berkembang yang menjadi mayoritas di lembaga keuangan internasional IMF, yakni :
1.pengambilan keputusan seharusnya didasarkan pada double majority system, yaitu keputusan baru sah bila mendapat per-setujuan mayoritas anggota dan mayoritas suara;
2.jabatan Direktur Pelaksana IMF tidak selalu dipegang negara-negara Eropa Barat tetapi terbuka bagi negara lainnya, termasuk negara berkembang.
Akhirnya, stigma politik bahwa rezim dan lembaga internasional menjadi instrumen negara untuk memperoleh keuntungan bagi ke-makmuran rakyat harus sepenuhnya dibenahi. Apa persepsi anda jika reformasi yang dilakukan di tubuh IMF sesungguhnya hanya sekedar untuk mempertahankan legitimasinya setelah gagal dalam sejumlah usaha memberikan resep pemulihan ekonomi atas negara-negara yang tertimpa krisis moneter?

Referensi :
Arief, Sritua, IMF/Bank dan Indonesia, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2001.
Harinowo, Cyrillus, IMF Penanganan Krisis & Indonesia Pasca IMF, Gramedia, Jakarta, 2004.



*)Penulis adalah mahasiswa HI UPN “Veteran” Yogyakarta, angkatan 2009

Photo : koleksi pribadi

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan beri komentar Anda di bawah ini terkait artikel di atas. Komentar Anda sangat berguna bagi perkembangan blog dan organisasi kami. Terima kasih telah berkunjung dan semoga bermanfaat. Salam !