Sponsors

Jumat, 08 April 2011

Perusahaan Multinasional: Dilema Pembangunan Ekonomi atau Keserakahan Ekploitasi?

Oleh
Effiza Rosalia


       Krisis lingkungan yang seluruh dunia rasakan sekarang ini tidak terlepas dari peran perusahaan multinasional yang mayoritas kepemilikan sahamnya dimiliki oleh negara industri maju. Eksistensi perusahaan yang terus mengeksploitasi lingkungan tanpa mempertimbangkan keseimbangan alam dapat dengan nyata kita rasakan akibatnya. Manusia semakin serakah dalam memperoleh alat produksi sehingga dampak yang dirasakan jauh lebih kompleks dibanding hasil yang didapat.
Perusahaan multinasional telah berkontribusi besar dalam runtuhnya tatanan lingkungan. Dampak pemanasan global juga berasal dari ketamakan negara industri dalam meraup untung dengan memajukan pemakaian teknologi. Jauh sebelum ini, revolusi industri di Perancis adalah bibit kemajuan teknologi yang telah mengubah sistem pertanian menjadi serba-industri. Negara industri maju seolah tak merasa bersalah dengan realita yang sekarang dihadapi dunia: suhu semakin panas, iklim semakin tak terprediksi serta semakin tandusnya lahan pertanian yang akan berujung pada krisis lahan.

Jika rantai-rantai dampak itu saling dikaitkan, maka sudah tentu berujung pada stok pangan dunia. Dengan dampak yang sedemikian banyak, organisasi internasional seperti PBB belum mampu mengambilalih masalah pelik ini, malah hanya sekedar menawarkan solusi tanpa implementasi yang benar-benar berpihak pada keadilan lingkungan. Terbukti, Bali Road Map telah gagal dan telah ada pula pertemuan di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009 lalu untuk meneruskan upaya penyelamatan lingkungan. Namun, hasilnya belum begitu memuaskan. Amerika Serikat hanya bersedia menurunkan emisi sekitar 12%, Jepang dan China tak jauh berbeda sekitar 20-30%. Ironisnya, Indonesia optimis menurunkan emisi 26% di tahun 2020. Apa dasar pemerintah mengambil keputusan itu? Ataukah mungkin kedaulatan kita telah dibeli oleh kepentingan negara maju?

         Indonesia dan Brazil - yang kebetulan memiliki hutan terlebat dunia - adalah dua negara yang konon berupaya melakukan reboisasi hutan dan diberi dana kompensasi oleh negara maju, padahal kontribusi Indonesia dalam menyumbang karbon dan emisi relatif sedikit. Sebagai pijakan kritis pertanyaan yang muncul adalah apakah dana kompensasi itu tidak memuat motif politik atau nanti justru membawa kita ke dalam jeratan ketergantungan disertai dengan perjanjian lain ?

Jika pemerintah serius menangani isu ini, mengapa keberpihakan terhadap perusahaan konglomerat yang tak jarang menyepelekan aspek lingkungan itu terus saja mempengaruhi kebijakan politik Indonesia dan bahkan terus ditingkatkan tanpa mempertimbangkan dampak negatif bagi masyarakat, khususnya terhadap kerusakan lingkungan? Permasalahan Lumpur Sidoarjo misalnya adalah satu bentuk ketamakan kolaborasi pemerintah-perusahaan, yang hingga kini merusak lingkungan dan tidak dapat dikembalikan seperti semula.

         Perusahaan multinasional dan rantai-rantai dampak yang ditimbulkannya memang merupakan suatu dilema. Perusahaan multi- nasional menyediakan lapangan kerja dan membawa berkah investasi
kepada negara penerima (house country) tapi keuntungan yang lebih banyak dikembalikan lagi kepada negara asal (home country) serta dampak dari beroperasinya perusahaan multinasional tidak masuk dalam rincian pengeluaran perusahaan yang bersangkutan. Realitas yang terjadi adalah masyarakat cenderung dibiarkan menanggung sendiri beban akibat kerusakan lingkungan. Di samping itu, rakyat juga dibingungkan dengan seruan filterisasi kebudayaan asing yang masuk bersama dengan beroperasinya perusahaan multinasional.

Efizza Rosalia
         Untuk menyelamatkan lingkungan, para pakar lingkungan telah menemukan suatu teknologi baru yang ramah lingkungan, yaitu bio-teknologi (teknologi yang berasal dari makhluk hidup dan terbarukan). Suatu gagasan untuk mengganti bahan energi batu-bara dengan bahan kelapa sawit. Yang jadi pertanyaan selanjutnya, apakah mencari energi pengganti yang lebih ramah lingkungan menjadi satu-satunya jawaban selain mempergunakan bahan seefisien mungkin? Ataukah justru meningkatkan deforestasi yang nantinya merupakan feedback dari pemanasan global?


REFERENSI

Jed Greer dan Kenny Bruno, Kamuflase Hijau, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999.
Kompas, 21 Desember 2009.

Photo : koleksi pribadi

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan beri komentar Anda di bawah ini terkait artikel di atas. Komentar Anda sangat berguna bagi perkembangan blog dan organisasi kami. Terima kasih telah berkunjung dan semoga bermanfaat. Salam !