Selamat Datang di KOIN

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Duis aute irure dolor in reprehenderit in voluptate velit esse cillum dolore eu fugiat nulla pariatur. Excepteur sint occaecat cupidatat non proident, sunt in culpa qui officia deserunt mollit anim id est laborum. ed ut perspiciatis unde omnis iste.

Sponsors

Sabtu, 16 April 2011

Seminar Pendidikan 2011

 Semenjak dicanangkannya dalam  Deklarasi Milenium yang diadopsi oleh 189 negara dan ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000, MDGs (Millenium Development Goals) telah menjadi sebuah kebijakan penting pembangunan tiap negara yang terlibat. Bersama negara-negara lainnya, Indonesia yang juga ikut dalam program MDGs ini, telah menandatangi deklarasi sebagai bentuk komitmen dari pemimpin-pemimpin dunia untuk mengurangi lebih dari separuh orang-orang yang menderita akibat kelaparan, menjamin semua anak untuk menyelesaikan pendidikan dasarnya, mengentaskan kesenjangan jender pada semua tingkat pendidikan, mengurangi kematian anak balita hingga 2/3 , dan mengurangi hingga separuh jumlah orang yang tidak memiliki akses air bersih pada tahun 2015. Pendidikan menjadi salah satu aspek penting dari delapan aspek utama yang hendak dicapai. Lalu sejauh manakah peran MDGs dalam memajukan pendidikan di tanah air kita?
             Berdasarkan ulasan masalah di atas, Pusat KOIN (Kajian Organisasi Internasional) termotivasi untuk mengadakan sebuah seminar pendidikan 2011 pada tanggal 25 Mei 2011 dengan mengangkat tema "MDGs dan Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal : Mencerdaskan Kehidupan Bangsa?". Tema ini sangat relevan dalam mengkaji dan menelaah lebih jauh wajah pendidikan di negeri ini, apalagi bulan Mei menjadi momentum yang tepat dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional (hardiknas) sekaligus refleksi bersama dalam membangun pendidikan di Indonesia. Jatuh bangun pendidikan di tanah air tercinta ini, sepenuhnya menjadi tanggung jawab bersama.
        Guna mendukung pengkajian yang mendalam terkait tema tersebut, KOIN mengundang tiga pembicara yang sudah kompeten dalam dunia pendidikan. Sebagai pembicara pada seminar yakni Darmaningtyas; pengamat pendidikan, Ki Sutikno; pamong Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa dan pengamat pendidikan, serta Ferry Widodo; aktivis pendidikan dan Ketua Umum Pimpinan Nasional Perjuangan Pemuda Indonesia.
       Sedangkan fasilitas yang disedikan panitia yakni sertifikat, seminar kit, coffee break dan lunch (makan siang). Untuk kontribusi peserta, mahasiswa UPN "Veteran" Yogyakarta Rp 35.000 dan umum Rp 40.000.

Contact Person :
Dessy : 081952051330
Happy: 085244488668
koin.upnyk@yahoo.com

So, tunggu apalagi, buruan daftar sebelum terlambat.
Mari kita bangun pendidikan di tanah air tercinta ini.


Harapan Kami


by Marlin Salakory

Kami hanya rakyat biasa…
Berusaha hidup dalam kesederhanaan…
Bahkan terlalu sederhana kami arungi kehidupan ini…

Dalamkesederhanaanini,kamiberusahamencariharapan…
Yaharapanuntuklebihbaik…
Tahun 2000 terdengar sebuah seruan pengharapan…
Harapan untuk menuju hidup yang lebih baik…
Harapan untu kanak kami tidak lagi mengemis di jalanan…
Kami taklagi menahan perihnya rasa lapar…

Millenium Development Goals
Dapatkah kami taruhkanseluruhharapan kami padanya?
Tak muluk harapan kami…
Cukup jaminkan pendidikan bagi anak kami…
Kesehatan bagi istri dan anak kami…
Biarkan kukepulkan asap dapur rumahku…

11 tahun berlalu sejak harapan itu lahir…
Rasanya semua harapan masih menjadi harapan…
Kecewa?
Ya kami kecewa,namun kami akan terus berjuang…
Kami ingin tetap berjuang di luar bayang semu harapan itu…

Secarik Pendidikan Kita

            Adanya MDGs di Indonesia dinilai belum bisa dikatakan efektif untuk pendidikan di Indonesia. Delapan tujuan MDGs yang memuat : 1) penanggulangan kemiskinan dan kelaparan, 2) mencapai pendidikan dasar untuk semua, 3) kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, 4) mengurangi angka kematian bayi, 5) meningkatkan kesehatan ibu, 6) melawan HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lain, 7) memastikan kelestarian lingkungan hidup, 8) kemitraan untuk pembangunan. Dari ke delapan tujuan tersebut salah satu prioritas yang harus dijalankan bagi Indonesia adalah menuntaskan tercapainya target pendidikan dasar untuk semua masyarakat Indonesia mengenai pemerataan pendidikan dasar dengan menargetkan pada tahun 2015 semua anak Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, akan dapat menyelesaikan pendidikan dasar, tidak ada lagi yang putus sekolah.
           Adapun program pemerintah yang mencanangkan program pemerataan pendidikan. Program Wajib Belajar 9 tahun adalah salah satu bentuk usaha pemerintah Indonesia dalam mewujudkan pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara. Penulis berasumsi bahwa program pendidikan pemerintah wajib belajar 9 tahun belum dapat dikatakan berhasil. Dalam arti, banyak anak yang putus sekolah karena biaya mahal dan jarak untuk mendapatkan pendidikan yang jauh sehingga menambah score banyaknya anak yang putus sekolah dan berujung pada kegagalan karena tidak mendapat pendidikan yang semestinya didapat. Selain itu program pemerintah yaitu Beasiswa harusnya mampu membantu program MDGs supaya dapat terpenuhi. Tapi realita berkata lain, beasiswa telah dipersalahgunakan yang mana pada dasarnya beasiswa diperuntuk buat orang tidak mampu tapi kini kalangan orang kaya juga ikut menikmatinya. Jelas ini berbanding terbalik dengan hal yang semestinya.
Jelas sekali ironi pendidikan kita yang terjadi saat ini, mengingat pendidikan merupakan kebutuhan utama untuk mewujudkan masyarakat yang berpotensi dan maju. Pendidikan yang sebagai arti upaya untuk memenuhi dan mengembangkan potensi diri seseorang suaya memiliki budi pekerti yang luhur agar kelak mecapai tujuan sesuai dengan UUD 45 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tapi sungguh ironis, yang terjadi saat ini pendidikan sudah tidak lagi menjadi hal utama untuk menunjang kemampuan setiap warga Negara menjadi lebih baik dalam menghadapi dunia yang semakin mengglobal. Pemerintah cenderung selalu memperhatikan kepentingan politik yang selalu diutamakan, dan cenderung selalu tidak mengoptimalkan apa yang sedang terjadi dengan pendidikan dalam negeri. Padahal pendidikan adalah hal utama untuk untuk menciptakan masyarakat yang berintelektual yang baik. Tapi nyatanya tidak, pendidikan kita dihadapkan pada berbagai dilema yang sulit dipecahkan. Dalam perkembangnya penulis menilai bahwa pendidikan lewat media sekolah tidak lagi menjadi penanaman nilai-nilai kemanusiaan. Sekolah menjadi “penjara” yang memisahkan nak didik dari dinamika persoalan masyarakat. Dalam arti, semakin lama seseorang bersekoah, semakin besar jarak antara dirinya dan realitas kehidupan yang sebenarnya. Sistem pendidikan yang tidak dialogis juga telah menyebabkan bakat dan kreatifitas yang dimiliki seseorang tidak bisa berkembang dengan baik. Penulis menilai bahwa pendidikan saat ini tidak lagi menjadi sarana dalam mencapai dan memajukan kualitas sumber daya yang dimiliki setiap orang, melainkan menjadi tempat seseorang untuk diarahkan dan didesain menurut pola yang sudah baku.
           Menurut penulis, ada tiga hal pokok yang harus diutamakan pemerintah dalam rangka untuk menciptakan kematangan dalam menciptakan mutu pendidikan yang maju yaitu, yang pertama adalah memajukan pendidikan, yang kedua menumpaskan kemiskinan, dan yang ketiga menciptakan kesehatan. Penulis berasumsi bahwa tiga ini merupakan inti penting dalam mencapai pemenuhan target MDGs. Penulis mengasumsikan bahwa pendidikan, kemiskinan, dan kesehatan seperti roda yang terus berputar. Dalam arti begini, apabila pendidikan dapat dipenuhi target dan kualitasnya maka tidak akan menutup kemungkinan untuk timbulnya orang-orang yang berpendidikan serta orang yang mengerti akan kehidupan sosial sehingga terhindar dari kebodohan yang mana kebodohan ini akan menjadi menjadi akar kemiskinan, mengingat kemiskinan akan mematikan pergerakan untuk mencapai sesuatu yang menjadi tujuan. Dalam arti, kemiskinan akan membuat seseorang tidak dapat mencapai pemenuhan hidup yang lebih baik. Misalnya tidak tercapainya pemenuhan gizi yang baik akibat minimnya ekonomi untuk membeli barang yang memiliki kandungan gizi yang baik. Sehingga mau tidak mau seseorang akan memenuhi kebutuhan pangannya dengan sesuatu yang “memiliki kandungan gizi yang kurang”. Dengan keadaan yang seperti ini jelas akan menimbulkan nilai kesehatan yang rendah terhadap seseorang tersebut akibat pemenuhan gizi yang kurang baik yang telah dikonsumsi oleh seseorang itu.
             Dan wajar saja jika ini terjadi karena pada dasarnya pendidikan yang minim disediakan dan kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap pemerintah menyebabkan tumbuhnya kebodohan pada masyarakat yang berimbas pada kemiskinan. Dan akibat dari kemiskinan itu timbul pola hidup yang tidak sehat sehingga nilai kesehatan menjadi menurun akibat tidak terpenuhi gizi yang baik dalam masyarakat. Dan bagaimana akan timbul generasi yang intelek dan berpendidikan jika masyarakat miskin dan tidak sehat, akibat pendidikan yang tidak kondusif untuk dijalankan. Dan ini akan terus menjadi roda yang terus berputar dalam dimensi kehidupan masyarakat kita jika pendidikan kita tidak dievolusi yang secara signifikan dan tidak manejemen dengan baik oleh orang-orang diatas sana.

Jumat, 15 April 2011

Lingkungan Bersih (Verly)


Echa dan Verly
Indonesia sebagai negara megabiodeversity memegang peran yang sangat penting dipermukaan bumi ini. Setiap saat 240 warga Indonesia berkontribusi langsung baik positif maupun negatif dan lebih terhadap perubahan lingkungan. Dan, lebih dari setengahnya adalah anak-anak. Anak-anak merupaka generasi penerus yang akan menentukan baik dan buruknya kualitas lingkungan Indonesia.
Seperti kata-kata bijak: “Jika ingin melihat masa depan suatu bangsa,lihatlah generasi mudanya”, kita sebagai generasi muda,pastinya tidak mau kalau negara kita memiliki masa depan yang buruk, maka kita harus peduli terhadap lingkungan kita.

Hehehe,,,,pasti ada yg bertanya-tanya,apa hubungannya dengan lingkungan,,,,,????
Hmmmm,,,,pastinya  ada donk,,,,!!!!!

Saat ini, kualitas lingkungan Indonesia memasuki masa kritis kerusakan hutan, polusi, pemanasan global, dan hilangnya sumber daya laut. Keadaan lingkungan sudah tidak  lagi  bersahabat dengan manusia. Buktinya banyak bencana yang terjadi seperti banjir, gempa, dan bencana lainnya. Suara dari para generasi muda merupakan suatu harapan  akan masa depan lingkungan hidup Indonesia yang lebih baik.
Namun, kenyataannya banyak orang yang tidak sadar dan peduli dengan keadaan lingkungan yang sudah rusak. Orang hanya akan peduli terhadap lingkungan kalau bencana sudah terjadi. Maka, sebagai generasi muda yang peduli terhadap lingkungan, kita harus memperhatikan masalah ini. Kita harus berusaha untuk mencegah agar lingkungan kita yang sudah rusak tidak menjadi lebih rusak lagi. Sekurang-kurangnya dengan memperhatikan lingkungan di sekitar kita.
Kita harus tunjukan pada semua orang bahwa kita peduli pada lingkungan juga, dan mau memperbaiki kerusakan yang sudah ada. Kalau bukan kita yang peduli siapa lagi yang akan peduli dengan lingkungan,,,,,?????

Hari Pangan Sedunia dan Kesejahteraan Petani (Claudia Djenadut)

          Mungkin banyak di antara kita yang berpikir bahwa makanan atau pangan adalah sesuatu yang biasa saja sebab hal itu sangat dekat dengan kehidupan kita. Tetapi, hari pangan sedunia yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober seolah membuat kita semua tersadar bahwa makanan atau pangan adalah sesuatu yang sangat berguna, sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Siapakah yang bekarja keras secara langsung dibalik semua itu? Tentu saja para petani.
          Pemanasan global yang terjadi saat ini ikut mempengaruhi ilkim dan cuaca. Perubahan musim hujan dan kemarau semakin tidak menentu. Sudah tentu hal ini membuat para petani bingung, bagaimana menentukan pola tanam. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Chanel (IPCC) setiap kenaikan suhu 2 derajat Celcius akan menurunkan produksi pertanian 30 % di China dan Bangladesh pada 2050. Masalahnya adalah dampak keadaan tersebut tidak dibagi secara merata. Rakyat miskin di negara miskin akan semakin miskin akibat ketergantungan mereka akan sumber daya alam yang terus berubah-ubah sesuai dengan perubahan iklim. Dalam kondisi demikian, dunia diempas krisis pangan.
          Meskipun msalah ini membuat para petani kebingungan, tetapi hal ini tidak menyurutkan niat mereka untuk terus bekarja, memproduksi makanan pokok bagi semua yang mengkonsumsinya. Namun apakah para petani sudah diberikan penghargaan yang setimpal dengan usaha dan kerja keras mereka? Sampai saat ini bisa dikatakan bahwa hal itu belum terlaksana, hampir di seluruh negara berkembang. Petani seperti dianaktirikan oleh pemerintah, bahkan oleh masyarakat yang mengkonsumsi apa yang telah mereka produksi.       
         Lewat pendiktean IMF dan Bank Dunia, investasi di sektor pertanian disunat, dialihkan ke led-export production. Lembaga produksi tidak tertarik untuk membantu peningkatan produksi pangan tetapi justru mendorong peningkatkan komoditas ekspor. Dana kerja sama pembangunan dari negara maju untuk negara berkembang naik dari 20 miliar dolar AS (1980) menjadi 100 miliar dolar AS (2007), tetapi pada saat yang sama dana untuk pertanian turun dari 17 miliar dolar AS menjadi 3 miliar dolar AS (Via Campesina, 2008). Bisa dikatakan bahwa petani, oleh kebanyakan masyarakat, dianggap sebagai sebuah pekerjaan rendahan.
Hal ini sudah cukup membuktikan bahwa kesejahteraan petani dan pertanian sangat tidak diperhitungkan. Padahal kalau mau dibandingkan dengan semua itu, petani dan pertanianlah yang seharusnya lebih menjadi prioritas. Mengingat apa yang sudah mereka kerjakan, petani seharusnya mendapat kesejahteraan, sehingga membuat mereka tetap bisa melakukan pekerjaan mereka dengan baik.
             Pertanian juga seharusnya menjadi prioritas sebab pertanian yang sehat akan membuat pencapaian terhadap ketahanan pangan semakin mudah. Dengan adanya ketahanan pangan, krisis pangan dunia akan lebih mudah diatasi. Pemerintah sebaiknya menjamin akses petani atas tanah (reforma agraria), air, dan bibit lokal unggul. Dengan demikian petani dan pertanian akan semakin maju dan mungkin dengan cara seperti ini dapat mambantu mengatasi krisis pangan dunia.
             Hari pangan sedunia juga mengingatkan kita akan jasa dari para petani dan membuat kita semakin lebih memperhatikan kesejahteraan para petani. Oleh karena itu, mari memperhatikan petani-petani kita.

REFERENSI
http://komunitasrakyattani.blogspot.com/2009/10/hari-pangan-sedunia-dan-kemandirian.html

image :  https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEF-CTR15ppgiPinmmpIght7fr9JgDvd_pGtZGCUPnxR-chrEQjG2eWuylVkRnW2-2e94OwzKtbQj7709YiwhhECQ0Ti8xXuvS7M0Z8tC4Z2x83QEoSIu-9cvQN5C_E2bX5-7NaGpS1qY/s320/hari_pangan.jpg

Jumat, 08 April 2011

Box

           Berpikir global, bertindak lokal merupakan adagium yang pernah didendangkan pada waktu KTT Bumi Rio de Janeiro, Brasil, Juni 1992 ini menyajikan realitas bahwa masyarakat dunia dihadapkan pada situasi dunia yang dilematis antara upaya mengatasi perubahan iklim dalam dimensi global dan mendukung pembangunan berkelanjutan yang berpihak pada lingkungan di tataran lokal. Negara-negara berkembang yang berada dalam tahap pembangunan ekonomi berada dalam situasi sulit karena daya dukung lingkungan semakin merosot. 
             Apabila pembangunan ekonomi yangdigenjot dengan pemakaian energi yang berlebihan, deforestasi, pembentukan gurun, pembuangan emisi karbon yang jauh berada di ambang batas maka dunia berada di garis depan menuju kehancuran. Negara-negara maju cenderung cuci tangan dalam upaya mengatasi dampak pemanasan global yang berujung pada degradasi lingkungan dan perubahan iklim sehingga negara-negara berkembang lebih banyak menanggung akibatnya. Posisi dilematis yang berat sebelah ini membuat negara-negara berkembang menjadi sulit membangun perekonomiannya agar bisa menjadi negara yang maju dan lebih banyak berkonsentrasi pada upaya mengatasi kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh negara-negara maju.
Aris Ceme Nuwa

               Oleh karena itu, perlu ada upaya serius yang harus dilakukan oleh negara-negara maju dan negara berkembang serta implementasi komitmen yang tegas terhadap upaya mencegah kerusakan lingkungan, degradasi lingkungan, dan membangun tatanan dunia yang berpihak pada lingkungan hidup.

Redaksi










Photo : koleksi pribadi


Solitude

Oleh
Freddy D’blues

Mengorek setiap celah,
Mengoyaknya dalam kelalaian,
Kawan hanya seteru
dipaksa bersabar, meratap
di negeri antah berantah
Ini lidah keluhku
genggaman mungil masa kecilku
Sejalan, segaris, searah prahara
Orang hebat terjerat hanyut larut
dalam genangan pekat....
***

Sajak Bumi Yang Beranjak Tua

Aisyah Nur Utami
Oleh
Aisyah Nur Utami


Sebuah pohon di tanam di atas doa
Daunnya hasil penjelmaan kerjasama matahari
Rantingnya berkolaborasi dengan angin,
bergoyang dan berbisik tentang
keluh kesahnya,
Namun dipojokkan, usaha keras si akar tua
Tetap menancap erat, mencoba tegar
firasatku
Tidak, aku memang bukan sedang
berdongeng
Namun bukan tidak mungkin hal ini
akan menjadi dongeng bagi anak cucu kita
sebab kini alam tengah me-mandang sinis dari
beranda kemurkaannya
Kini alam yang tak lagi ramah berdiskusi
dan lantang berteriak
Ketika 0,5 kg oksigen dirampok dalam
setiap harinya
Matilah !! Matilah !!
Alamku berkaca, lalu
menangis !!
Konsep realitas perluasan katamu??????
Huh !! Klasik !!
Sadarlah, mekanisme kaum kapitalis semakin kreatif !!
Hahaha...jika sudah begini aku tidak sabar menunggu....
***


Photo : koleksi pribadi

Indonesia Di Tengah Perubahan Iklim

Oleh Krisantus Tobias Ghena Ona

              Isu perubahan iklim sepertinya tidak akan pernah habis diperbincangkan. Sebagian orang memandang masalah ini sebagai masalah krusial yang benar-benar penting untuk dibicarakan karena menyangkut kehidupan manusia di atas bumi ini. Namun ada juga yang hanya memandangnya sekedar sebagai sebuah bentuk imperialisme baru negara-negara maju atas negara-negara berkembang yang jika semakin diperhatikan semakin menjerat. Walaupun demikian, yang jelas masalah ini merupakan satu dari enam masalah lingkungan hidup yang sedang melanda bumi kita ini dan sangat penting untuk segera diatasi. Hal inilah yang menyebabkan akhir-akhir ini banyak pemangku kepentingan lokal maupun nasional merasa terdorong oleh kemungkinan menghindari deboisasi dengan dukungan pembayaran internasional, dan menyebabkan negara-negara mulai mempertimbangkan risiko dan opsi mengenai bagaimana suatu negara yang rawan beradaptasi dengan perubahan lingkungan tersebut. Maka saat itulah Indonesia menjadi pusat perhatian dunia.

         Sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki hampir 17.000 pulau, Indonesia terbentang atas dua kawasan biogeografis – Indomelayu dan Australia – dan mendukung berbagai jenis kehidupan flora dan fauna dalam hutan basah yang asli dan kawasan pesisir serta laut yang kaya. Ada sekitar 3.305 spesies hewan amfibi, burung, mamalia dan reptil dan sedikitnya 29.375 spesies tanaman berpembuluh tersebar di pulau-pulau ini, yang diperkirakan mencapai 40 persen dari biodiversitas di kawasan APEC. Namun, karena penebangan hutan, kebakaran, serta pem-bukaan lahan yang sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, maka biodiversitas di Indonesia terancam akan hilang. Maka jelaslah bahwa Indonesia mendapat perhatian yang cukup besar dari negara-negara dunia. Indonesia menjadi salah satu negara yang masih mungkin memperbaiki kerusakan-kerusakan yang mengakibatkan perubahan iklim ini. Apalagi Indonesia diklaim menjadi negara ketiga terbesar penyumbang gas rumah kaca di atmosfer bumi, dan hal ini sejalan dengan kebijakan peningkatan penggunaan bahan bakar batu bara pada tahun 2002 yang mencapai 40%. Perhatian negara-negara dunia juga tidak terlepas dari janji pemerintah Indonesia yang akan berusaha meningkatkan penurunan emisi karbon sebesar 26%. Maka, harian kompas 19 November 2009 menuliskan bahwa pemerintah Inggris akan mendorong terkumpulnya dana dari negara-negara maju pada pertemuan tingkat tinggi ke-15 perubahan iklim yang dilaksanakan di Kopenhagen. Aliran dana ini sekiranya akan digunakan untuk membantu negara-negara ber-kembang yang sedang mengembangkan sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Pemerintah Inggris menegaskan bahwa mereka menyediakan dana sekitar 10 juta poundsterling atau sekitar 140 miliar rupiah bagi Indonesia, asalkan Indonesia menepati janjinya untuk me-ningkatkan penurunan emisi karbon dari 26% menjadi 41%.


          Selain Inggris, Troika Uni Eropa juga mengatakan bahwa dalam menyelesaikan masalah ini, keterlibatan Indonesia merupakan hal yang sangat penting demi menghasilkan keputusan yang dapat menggantikan Protokol Kyoto yang akan berakhir pada 2012 nanti. Maka, ketika pertemuan di Kopenhagen ini menghasilkan Copenhagen Accord, diharapkan perubahan iklim bisa segera ditanggulangi.

        Dalam masalah ini Indonesia bisa dikatakan punya posisi tawar yang berarti di mata dunia. Namun, kita patut juga mengkritisi berbagai kemungkinan dan kepentingan yang ikut serta dalam berbagai kebijakan dan apresiasi atas Indonesia. Kita tahu bahwa investasi Troika Uni Eropa di Indonesia memiliki jumlah yang cukup besar, yakni 20 miliar euro, dan terus meningkat sebesar enam persen setiap tahunnya. Begitu pun dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan yang lainnya, punya jumlah investasi yang tidak sedikit di Indonesia. Jadi, dari poin ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa mungkin saja ada kepentingan yang satu di atas kepentingan yang lain. Analisis atas hal ini perlu dibuat. Kemudian, terlepas dari hal itu, terkait dengan krisis demokrasi liberal yang terjadi di berbagai negara, Indonesia sebagai sebuah negara berkembang bisa saja hanya dijadikan sekedar sebuah batu loncatan demi memperbaiki berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi di negara-negara lain akibat kemajuan industri yang memberi dampak yang cukup signifikan terhadap lingkungan. Kita tahu bahwa semua manusia hidup dia atas bumi yang sama.

           Kerusakan lingkungan alam yang terjadi pada salah satu wilayah di atas bumi ini tentu akan mempengaruhi wilayah-wilayah yang lain, yang bisa saja ikut menjadi rusak atau terkena dampak dari kerusakan tersebut. Pada tahap ini, secara politis kerusakan lingkungan yang ada pada satu negara diangkat dalam tema kerusakan global sehingga negara-negara lain pun akhirnya merasa bahwa hal tersebut juga menjadi tanggungjawab bersama. Pada tahap ini Indonesia seolah-olah harus memikul tanggung jawab memperbaiki berbagai kerusakan yang telah dilakukan oleh negara-negara lain, yang menyebut dirinya penyelamat dunia itu. Jangan sampai klaim atas Indonesia sebagai negara penyumbang gas rumah kaca hanya sekedar menjadi wacana politik untuk menjebak Indonesia. Indonesia hanya dijadikan tempat daur ulang kerusakan akibat berbagai kebijakan seperti Emision Trading System.

          Jadi, marilah kita mengkritisi berbagai kebijakan politik yang diberikan atas Indonesia oleh negara-negara lain dengan mengatasnamakan perubahan iklim ini. Jangan sampai kita seolah-olah hanya dijadikan sekedar tempat daur ulang berbagai kerusakan yang terjadi di bumi ini. Tak lupa pula, kita berharap agar pemerintah kita mampu mengambil kebijakan yang tidak berat sebelah dan tidak merugikan kepentingan rakyat banyak.


REFERENSI

“Energi dan Kelestarian Lingkungan Hidup,” dalam http://www.forplid.net/index.php option=com_content&task=view&id=79&Itemid=1 diunduh pada 29 November 2009.
“Isu Lingkungan Hidup di Indonesia,” dalam http://www.worldbank.org/id/environment, diunduh pada 29 November 2009.
“Kopenhagen Ajang Menghimpun Dana Lingkungan,” dalam Kompas, Kamis 19 November 2009.
Setiawan, Bonnie. 2004, “Krisis Demokrasi Liberal atau Pseudo Demokrasi?” Mandatary, Edisi 1/Tahun 1/2004, Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment

A Letter to Carmelita

Nikolaus Loy
Oleh Nikolaus Loy


Dear Carmelita,
          Your letter has provoked me to consider carefully what I was learning some years ago. At that time, I agreed partially with your opinion about the benefits of globalisation. However, in order to make a fair judgement, firstly and foremost we has to understand the object and abstract concepts that symbolize the object. In my opinion, globalisation has two conceptual and factual dimensions:. As a concept, ‘globalisation’ is a fuzzy concept.
          Different experts propose different meanings of globalisation. I simply define globalisation as a process that unifies different parts of the world into a global system. This fuzzy concept represents cross national boundaries unification of different aspects of human life. It refers to the trans-national integration of economic, culture, information, social movement and migration.

               Your definition of globalisation covers merely on economic aspect characterized by the downsizing of state role and the adoption of export strategy as key factors. It seems that you are a true believer of the benefits of globalisation. In one hand, I share some of your opinions about the positive effects of economic globalisation such as low information and transportation costs that foster the movement of capital, managerial skills and human resources across geographic boundaries. Economic integration as a key process of globalisation increases economic welfare of some countries in the Asia-Pacific Regions. In other hand, I tend to say that this is a rough generalisation about the effect of globalisation.
Suppose you were watching New York from the 123th floor of the late empire state building. From the tower you might see all high and magnificent buildings that constitute the landscape of New York. It is a glorious picture of a wealthy city in the heart of world capitalist system. If you follow the streets in the city, you will find that the beautiful landscape also contains some gloomy parts in the form of petty traders, criminals, homeless urban dwellers, street prostitutes; all you can not see from the tower.
Do you understand what I mean? If you follow ‘streets’ of countries in the peripheral region of Asia- Pacific region, you will find the fact that globalisation has different faces in different countries, in different places, in social classes and gender in a country.The first face of economic globalisation is selective integration. It integrates certain places that are beneficial for capital accumulation and excludes other places. Global corporations, for which your company provides guarantee, are the prime mover of foreign direct investments in the Asia Pacific region. Their economic tentacles are touching different places in Indonesia, China and Thailand. However, their tentacles only touch the places where there are abundant natural resources or economic facilities. In Indonesia their operations are concentrated in some bounded zones in Java and Sumatra. The free market as the basic mechanism of globalisation does not evenly distribute welfare to whole places and regions.     
            The second face of globalisation manifests in the increasing competition between countries and between places in a country. Since private investments prefer to come to countries or places in a country that provide incentives, economic globalisation intensifies competition among countries and places. To attract more investments. countries in the region are forced to adopt some economic policies that are contrary to the interest of most part of their population. Regardless to their level of development and the ability to compete, governments in the regions have to adopt liberal economic policies by cutting social expenditures and launching privatisation. In Indonesia, these have caused the long social and political destabilization. I believe that the increasing radical movement in Indonesia is partially caused by the fact that there are too many young unemployed people. Moreover, the need to attract investments also reinforces the competition among places. In Indonesia, the downsizing of state role forces local government to find alternative sources of revenue. They are trying to increase private investment by providing facilities and open their regions to foreign capital. The impact is catastrophic. In Riau, uncontrolled investments in mining, logging and plantation have caused environmental degradation and the destruction of social and cultural heritages of indigenous communities in the region.

                  I see the third face of globalisation in the contrasting picture of cities in the region, in class and rural urban inequalities. You may know a city named Jakarta. You do remember the city since UBS had to pay much money to cover assets of some American companies lost in the big riot from 14 to 15 may 1997. Do you also remember Friedman’s world city hypothesis? As Friedman said, the economic shapes the development of cities. Jakarta is located in heart of tropic region; most days are warm and sunny; its people live in big families and their communal sense is very strong. However, if you look at the style of building along Sudirman and Thamrin, two main streets in Jakarta, you will find a colony of glass and iron boxes. The buildings represent the style western modern architecture that is individualistic in character and emphasize efficiency of material and spaces. Why should Jakarta imitate New York? The reason behind the imitation is a dream and an interest to play a role as a centre of financial market and trade in the Southeast Asia Region.
              Moreover, Jakarta is competing with Kualalumpur and Manila in attracting foreign companies. A huge amount funds have been allocated to build city infrastructure. As an impact, foreign investment comes to Jakarta, but at the same time thousand of poor people from rural areas in and out of Java invade the city through a process of desa-kota migration. The impact is that the growth of squatter settlement, the shortage of public facilities, traffic congestion and the worst is the deterioration of environmental quality. I tend to say that Jakarta is not a city, it is a big village with some high buildings as landmarks. Why? There is no fixed border between urban areas and rural areas around Jakarta. Technically saying it is an extended metropolitan region (EMR). Ironically, while Jakarta transforms itself as an EMR, the city planners, most of them graduated from United States, remain believe the conventional principles of city planning in which a city usually has a fixed border. The complexity of problems may hinder the fulfilment of Jakarta’s dream to be a global city.
           Fourth face of globalisation is a gendered face. One key factor in the economic success of countries in Asia-pacific Region, particularly in East and Southeast Asia is the ability to exploit their comparative advantage in labor cost. The majority of labors is low paid women. You may be wearing your favourite blue jeans, Lea or a pair of Nike. How much you buy them. Do you know that Your Nike and Lea were woven by thousand nimble fingers in Tangerang, an industrial park near Jakarta?. The owners of fingers are ‘factory daughters’ who are paid only about US$ 2 for a full day work.
I should stop my discussion of globalisation. However, there is one question left. What are the alternative thoughts and strategies to deal with development and environment in the region? The different impacts of globalisation in the region are caused by the fact that the global economic processes have worked trough different social, cultural, political and geographic contexts of the countries in the region. Therefore, any efforts to deal with development and environment in the region must take into account the social, cultural and political context. Firstly, at regional level, development cooperation is institutionalised in the form of a reinvented region. This is a region that share the same cultural character. Most regions that share the same cultural character generally existed as a part of a political and geographic community in history. The SIJORI growth triangle is one of reinvented regionalism. Secondly, development process at local level must involve the local people and their needs. 
             Therefore, development planning and environmental management must be built on the participatory model. This model provides a possibility to incorporate local values and interests into development planning. In relation to environmental management, the indigenous tribes in Riau have their own system that guarantee the environmental sustainability. The collective ownership and the selective cultivation of forest among Petalangan tribe in Riau secure two things: (a) economic values of forests and (b) the preservation of forest to keep natural biodiversities for the interest of next generation. Therefore, local wisdoms (values and traditions) in managing nature, in my view, are not in conflict with commercial interest of modern firms.
             Carmelita….Studying globalisation has widened my perspective about how global processes determine local dynamics of social, political and culture life. It gives a new way of understanding the study of international relations by focusing more on non-state relations and it impacts on localities. I want to end my letter by quoting an old Chinese proverb, countries in the economic globalisation like ‘two people who are sleeping in the same bed but have different dreams in their heads’.

Melbourne, 2010
Photo : koleksi pribadi

Perusahaan Multinasional: Dilema Pembangunan Ekonomi atau Keserakahan Ekploitasi?

Oleh
Effiza Rosalia


       Krisis lingkungan yang seluruh dunia rasakan sekarang ini tidak terlepas dari peran perusahaan multinasional yang mayoritas kepemilikan sahamnya dimiliki oleh negara industri maju. Eksistensi perusahaan yang terus mengeksploitasi lingkungan tanpa mempertimbangkan keseimbangan alam dapat dengan nyata kita rasakan akibatnya. Manusia semakin serakah dalam memperoleh alat produksi sehingga dampak yang dirasakan jauh lebih kompleks dibanding hasil yang didapat.
Perusahaan multinasional telah berkontribusi besar dalam runtuhnya tatanan lingkungan. Dampak pemanasan global juga berasal dari ketamakan negara industri dalam meraup untung dengan memajukan pemakaian teknologi. Jauh sebelum ini, revolusi industri di Perancis adalah bibit kemajuan teknologi yang telah mengubah sistem pertanian menjadi serba-industri. Negara industri maju seolah tak merasa bersalah dengan realita yang sekarang dihadapi dunia: suhu semakin panas, iklim semakin tak terprediksi serta semakin tandusnya lahan pertanian yang akan berujung pada krisis lahan.

Jika rantai-rantai dampak itu saling dikaitkan, maka sudah tentu berujung pada stok pangan dunia. Dengan dampak yang sedemikian banyak, organisasi internasional seperti PBB belum mampu mengambilalih masalah pelik ini, malah hanya sekedar menawarkan solusi tanpa implementasi yang benar-benar berpihak pada keadilan lingkungan. Terbukti, Bali Road Map telah gagal dan telah ada pula pertemuan di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009 lalu untuk meneruskan upaya penyelamatan lingkungan. Namun, hasilnya belum begitu memuaskan. Amerika Serikat hanya bersedia menurunkan emisi sekitar 12%, Jepang dan China tak jauh berbeda sekitar 20-30%. Ironisnya, Indonesia optimis menurunkan emisi 26% di tahun 2020. Apa dasar pemerintah mengambil keputusan itu? Ataukah mungkin kedaulatan kita telah dibeli oleh kepentingan negara maju?

         Indonesia dan Brazil - yang kebetulan memiliki hutan terlebat dunia - adalah dua negara yang konon berupaya melakukan reboisasi hutan dan diberi dana kompensasi oleh negara maju, padahal kontribusi Indonesia dalam menyumbang karbon dan emisi relatif sedikit. Sebagai pijakan kritis pertanyaan yang muncul adalah apakah dana kompensasi itu tidak memuat motif politik atau nanti justru membawa kita ke dalam jeratan ketergantungan disertai dengan perjanjian lain ?

Jika pemerintah serius menangani isu ini, mengapa keberpihakan terhadap perusahaan konglomerat yang tak jarang menyepelekan aspek lingkungan itu terus saja mempengaruhi kebijakan politik Indonesia dan bahkan terus ditingkatkan tanpa mempertimbangkan dampak negatif bagi masyarakat, khususnya terhadap kerusakan lingkungan? Permasalahan Lumpur Sidoarjo misalnya adalah satu bentuk ketamakan kolaborasi pemerintah-perusahaan, yang hingga kini merusak lingkungan dan tidak dapat dikembalikan seperti semula.

         Perusahaan multinasional dan rantai-rantai dampak yang ditimbulkannya memang merupakan suatu dilema. Perusahaan multi- nasional menyediakan lapangan kerja dan membawa berkah investasi
kepada negara penerima (house country) tapi keuntungan yang lebih banyak dikembalikan lagi kepada negara asal (home country) serta dampak dari beroperasinya perusahaan multinasional tidak masuk dalam rincian pengeluaran perusahaan yang bersangkutan. Realitas yang terjadi adalah masyarakat cenderung dibiarkan menanggung sendiri beban akibat kerusakan lingkungan. Di samping itu, rakyat juga dibingungkan dengan seruan filterisasi kebudayaan asing yang masuk bersama dengan beroperasinya perusahaan multinasional.

Efizza Rosalia
         Untuk menyelamatkan lingkungan, para pakar lingkungan telah menemukan suatu teknologi baru yang ramah lingkungan, yaitu bio-teknologi (teknologi yang berasal dari makhluk hidup dan terbarukan). Suatu gagasan untuk mengganti bahan energi batu-bara dengan bahan kelapa sawit. Yang jadi pertanyaan selanjutnya, apakah mencari energi pengganti yang lebih ramah lingkungan menjadi satu-satunya jawaban selain mempergunakan bahan seefisien mungkin? Ataukah justru meningkatkan deforestasi yang nantinya merupakan feedback dari pemanasan global?


REFERENSI

Jed Greer dan Kenny Bruno, Kamuflase Hijau, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999.
Kompas, 21 Desember 2009.

Photo : koleksi pribadi

Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan (Headline)


Isu mengenai lingkungan hidup merupakan isu up to date yang menyajikan realitas lingkungan hidup yang berada dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Populasi manusia yang terus meningkat dan degradasi ekologis yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti tanah yang kehilangan kesuburan atau terkikis, lahan rumput yang berlebihan, pembentukan gurun, perikanan yang berkurang, spesies yang punah, hutan yang gundul, polusi udara dan air merupakan bagian dari realitas lingkungan hidup yang harus mendapat perhatian ekstra dari masyarakat global. Degradasi ekologis yang dahsyat bisa membawa petaka baru : perubahan iklim dan penipisan lapisan ozon.

         Daya dukung lingkungan yang terus merosot juga merupakan dampak dari pembangunan ekonomi negara-negara maju. Deforestasi, alihfungsi hutan menjadi pabrik-pabrik atau paket dari negara maju berupa emisi gas rumah kaca merupakan efek dari pembangunan ekonomi yang tidak berpihak pada keberadaan lingkungan hidup.

        Berkaitan dengan itu, beragam agenda internasional digagas dan dilakukan oleh negara maju dan berkembang misalnya saja KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009. Beberapa keputusan yang dihasilkan dalam pertemuan itu seperti komitmen untuk mengurangi emisi CO2 atau membatasi pemanasan global hingga 2 derajat celcius dinilai belum mampu memaksa negara-negara maju untuk bersama-sama menjaga lingkungan hidup dan mencegah perubahan iklim. Beberapa hal yang menjadi isu utama seperti mitigasi, adaptasi, transfer teknologi, dan pendanaan belum mendapat perhatian yang serius dari negara-negara maju.

        Oleh karena itu, negara-negara berkembang pun pesimis terhadap Copenhagen Accord tersebut. Negara berkembang berada dalam posisi dilematis, antara menggenjot pembangunan ekonomi sehingga bisa menjadi negara yang maju dan upaya mendukung pembangunan berkelanjutan yang berpihak pada lingkungan. Masalahnya adalah bagaimana jalur pembangunan yang akan ditempuh. Pembangunan berkelanjutan tetap harus menjadi desain utama target pencapaian nasional negara berkembang.
(redaksi)

Referensi
Daniel Murdiyarso, CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih , Buku Kompas, Jakarta, 2003.
Robert Jackson dan Georg. Sorensen, Pengantar Studi HI, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.


Images : google.com/img

Buletin KOIN Edisi Mei 2010

Sebuah diskusi kecil yang santai
"No man is an island". Ya, tidak ada seseorang pun di dunia ini yang bisa hidup sendiri. Secara kodrati, sebagai makhluk yang monodualis, manusia selain menjadi individu, juga menjadi makhluk sosial yang hidup bersama orang lain. Oleh karena itu, isu perubahan iklim sebagai isu bersama merupakan isu yang menjadi tanggung jawab global. Perubahan iklim menjadi tanggung jawab semua bangsa karena menyangkut keberadaan manusia di atas muka bumi, walau seringkali juga menjadi isu politik belaka yang cenderung kontroversial dan patut dipertanyakan. Kenyataannya isu ini sering dipakai oleh negara maju untuk mempertahankan dominasinya terhadap negara kecil.

Buletin edisi kali ini mengetengahkan polemik perubahan iklim yang tidak hanya sekedar dipandang dari aspek lingkungan saja, tetapi juga dipandang dari aspek-aspek lain. Sebuah adagium Latin berbunyi: Quid sit futurum cras fuge querere, artinya: apa yang akan terjadi esok hari, selidikilah ! Ya, isu perubahan iklim harus juga didalami.

SELAMAT MEMBACA !!!

Reformasi IMF : Mungkinkah?

Oleh : Arnoldus Tally Nae *)

          Berbicara mengenai eksistensi dan esensi sebuah lembaga keuangan inter-nasional seperti IMF, kita akan diajak untuk menelaah masalah yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia yakni soal “UTANG”. Bukanlah hal yang luar biasa jika term “utang” ter-sebut kembali kita hubungkan dengan sistem finansial negara Indonesia yang kian terpuruk dalam kancah perekonomian global dan domestik. Kondisi ini diperparah dengan situasi dalam negeri yang sama sekali terkesan tidak mendukung pemulihan keadaan ekonomi negara seperti maraknya kasus KKN dalam tubuh lembaga pemerintahan. Usaha–usaha pemulihan keadaan ekonomi yang telah dan sedang dikembangkan selama ini pun masih menitikberatkan pada proses treatment atau therapy ketimbang usaha preventif sebelum keadaan ekonomi sungguh-sungguh terpuruk. Wajarlah karena utang adalah sebuah warisan sejarah yang paling krusial dan bangsa kita masih berkutat dengan asas lebih baik mengobati daripada mencegah atau yang lebih po-pular adalah gali lubang tutup lubang.

Realitas di atas bukan dimaksudkan untuk menyurutkan  langkah kita menuju pemulihan dan pengembangan struktur ekonomi dan peningkatan sistem finansial negara ke arah penyempurnaan tetapi melalui itu bangsa kita patut me-refleksikan arah dasar dan tujuan berdirinya negara ini yang mengagendakan kemajuan di segala bidang. Tentunya kita menghargai upaya yang dilaku-kan pemerintah dalam me-ngatasi keterpurukan ekonomi negara yang salah satunya adalah dengan melaksanakan kebijakan loan atau pinjaman utang luar negeri. IMF dengan predikatnya sebagai lembaga keuangan bertaraf internasional dengan senang hati memberikan bantuan pinjaman dalam bentuk dana moneter. Keterikatan hu-bungan antara IMF- Indonesia ini di satu sisi menguntungkan pihak Indonesia karena upaya pemulihan keadaan ekonomi boleh jadi sukses tetapi di sisi lain, IMF secara tidak langsung telah menanamkan pengaruhnya di Indonesia sehingga Indonesia semakin tergantung kepada IMF. Apalagi kita sadar bahwa IMF masih saja didominasi oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat. Semua ke-bijakan yang dikeluarkan IMF toh pada intinya hanya meng-untungkan negara-negara pe-megang saham terbesar di IMF. Siapa yang dirugikan di sini ? Tentu saja negara-negara dunia ketiga atau negara berkembang. IMF yang didominasi oleh negara kaya berpeluang meng-ulangi kesalahan mendasarnya yakni memberikan loan atau pinjaman dengan mendikte negara yang akan dibantu. Seharusnya IMF tidak menjadi instrumen bagi negara-negara industri maju untuk menjajah negara lain. Bertolak dari pe-mahaman ini, tercipta sebuah citra buruk IMF yang menuntut reformasi dalam tubuh IMF itu sendiri. Tuntutan ini kemudian diajukan kembali oleh negara-negara berkembang. Namun, upaya mereformasi IMF tidak semudah membalikkan telapak tangan dan proses ini bukan hanya belum dimulai tetapi sudah dan sedang ber-langsung. Apalagi hal yang dipersoalkan berkaitan dengan masalah substansial, misalnya masalah voting power.
                 Kita mengharapkan IMF tidak didominasi oleh Amerika Serikat atau negara-negara OECD (The Organization for Economic Cooperation and Develop-ment). Yang harus kita per-tanyakan adalah sejauh mana reformasi di tubuh IMF sendiri bisa mengurangi dominasi Amerika Serikat. Selama ini voting power lembaga keuang-an internasional IMF terus didominasi Amerika Serikat. Sementara itu, negara-negara berkembang yang jumlahnya lebih besar hanya memiliki hak suara minoritas sehingga sulit menjadi penentu kebijakan akibat aturan dasar yang menentukan voting power itu. Aturan dasar itu terkait dengan empat kriteria, yaitu produk domestik bruto (PDB), pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, dan keterbukaan pada perdagangan. Reformasi yang diusung di tubuh IMF sama sekali tidak memberikan solusi bagi negara yang ingin dibantu. Beberapa analisa menunjukkan bahwa hal ini juga dipengaruhi oleh adanya ketidakseimbangan dalam proses pengambilan keputusan di IMF.
Berdasarkan uraian di atas, setidaknya ada dua hal mendasar yang harus diupayakan untuk mereformasi IMF agar berpihak kepada negara-negara berkembang yang menjadi mayoritas di lembaga keuangan internasional IMF, yakni :
1.pengambilan keputusan seharusnya didasarkan pada double majority system, yaitu keputusan baru sah bila mendapat per-setujuan mayoritas anggota dan mayoritas suara;
2.jabatan Direktur Pelaksana IMF tidak selalu dipegang negara-negara Eropa Barat tetapi terbuka bagi negara lainnya, termasuk negara berkembang.
Akhirnya, stigma politik bahwa rezim dan lembaga internasional menjadi instrumen negara untuk memperoleh keuntungan bagi ke-makmuran rakyat harus sepenuhnya dibenahi. Apa persepsi anda jika reformasi yang dilakukan di tubuh IMF sesungguhnya hanya sekedar untuk mempertahankan legitimasinya setelah gagal dalam sejumlah usaha memberikan resep pemulihan ekonomi atas negara-negara yang tertimpa krisis moneter?

Referensi :
Arief, Sritua, IMF/Bank dan Indonesia, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2001.
Harinowo, Cyrillus, IMF Penanganan Krisis & Indonesia Pasca IMF, Gramedia, Jakarta, 2004.



*)Penulis adalah mahasiswa HI UPN “Veteran” Yogyakarta, angkatan 2009

Photo : koleksi pribadi